Demokrasi tergantung pada warga yang mendapatkan
fakta yang akurat dan terpercaya yang diletakkan dalam
konteks yang tepat dan memiliki makna
(Bill Kovack & Tom Rosenstiel)
Mencermati kasus Century yang terus bergulir bak bola salju, tidak mungkin terlepas dari pemberitaan media terhadap kasus ini. Televisi menyediakan slot berjam-jam untuk meliput secara langsung untuk berbagai peristiwa terkait. Headlines di halaman satu koran-korannasional seolah-olah sudah di-booking oleh nama-nama seperti Boediono, Sri Mulyani, Susno Duadji, dan segenap anggota pansus.
Frekuensi dan intensitas terpaan media kepada masyarakat mengenai masalah ini, berhasil menciptakan satu opini publik yang berkembang cukup luas. Opini yang berbunyi kira-kira seperti ini: SBY dan kroni-kroninya bertanggung jawab atas dana bailout 6,7 triliun ini.
Pengaruh media yang begitu kuat ini tentu saja akan membuat pihak-pihak yang terkait, entah itu pro pemerintah ataupun kontra pemerintah, berlomba-lomba untuk dapat memanfaatkan kekuatan media demik kepentingan mereka. Satu hal yang sangat perlu diwaspadai dan membuat media harus memikirkan ulang tentang posisi mereka yang sangat krusial ini.
Kewajiban Media
Media, yang adalah salah satu pilar terpenting dalam demokrasi memiliki satu tugas yang maha berat, seperti dikatakan oleh Robert Chesney, yaitu bertanggung jawab untuk membuka seterang mungkin suatu masalah, sehingga publik dapat memahami dan membicarakan masalah-masalah yang mereka hadapi secara tuntas.
Media harus menjadi sebuah ruang publik, wilayah yang bebas dari kontrol negara dan modal. Wilayah dimana setiap anggota dapat saling berinteraksi, belajar, dan berdebat mengenai masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa ekonomi dan penguasa politik. Demikian rumusan Habermas yang mungkin terlalu ideal, tapi bukannya tidak berguna sama sekali.
Khususnya dalam pemberitaan mengenai kasus Century, yang menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan media, media tidak boleh lengah, mengabaikan kewajibannya dan ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertangggung jawab. Media harus sangat berhati-hati untuk tidak seperti kerbau yang dicucuk hidungnya lalu kemudian berubah menjadi “alat propaganda”
Skeptisisme sebagai Jawaban
Untuk menghindari kemungkinan tersebut, yang bisa berakibat pada sikap cheerleader complex, satu sifat untuk berhura-hura mengikuti arus yang sudah ada, puas dengan apa yang ada, puas dengan permukaan sebuah peristiwa, serta enggan untuk mengingatkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat, skeptisisme harus menjadi sikap media.
Dengan skeptisisme, media menjadi meragukan, bertanya, menggugat, dan tidak begitu saja menerima kesimpulan-kesimpulan yang umum. Sebagaimana dikatakan oleh Joseph Pulitzer, media tidak akan pernah bisa menjadi besar dengan hanya sekedar mencetak selebaran-selebaran yang disiarkan oleh pengusaha maupun tokoh-tokoh politik dan meringkasnya. Media harus turun ke lapangan, berjuang, dan menggali hal-hal yang tersembunyi.
Dengan sikap seperti ini, niscaya media bisa terhindar dari kesalahan-kesalahan yang bisa berakibat fatal, katakanlah trial by press ataupun menjadi tunggangan pihak tertentu. Dengan sikap ini pula media bisa mewujudkan fungsinya sebagai pilar demokrasi dan juga ruang publik. Karena kewajiban utama media bukanlah pada pihak tertentu, melainkan pada kebenaran.
Note: ini tulisan pada semester 4/5 untuk mata kuliah penulisan tajuk rencana dan artikel. Kelas ini diampu oleh James Luhulima, Warepel harian Kompas. Beliau memberikan banyak sekali insight yang memperkaya wawasan kami tentang dunia jurnalisme. Salah satu pengajar terbaik di kampus saya.
Tulisan ini dibuat ketika masalah Century begitu hingar bingar. Diskusi dalam kelas berfokus pada media massa, yang mulai bertingkah bagai hakim, dan kerap melakukan trial by press. Tulisan ini, bagi saya, adalah otokritik terhadap diri, jurnalis, dan media.