
It’s hard to be a woman. Literally, when we live in Afghanistan.
Tanya saja Gul Bibi, wanita berumur 25 tahun keturunan etnik Pashtun. 5 bulan ini dia menghabiskan waktu di penjara. Kejahatannya, tulis Time, melarikan diri dari suami yang terus memukulinya selama 9 tahun pernikahan.
Gul dijodohkan pada umur 16 tahun oleh keluarganya, sebagai penyelesaian dari sengketa tanah. Dia sempat kabur, menemukan pria idaman, berencana untuk menikah. Tapi suaminya menyandera beberapa saudaranya lalu memaksa dia menyerahkan diri ke polisi.
Gul masih lebih beruntung di bandingkan Aisha, 18 tahun. Mertuanya memukuli dan memperlakukan dirinya bak budak. Dia kabur,lalu tertangkap. Komandan taliban lokal memutuskan bahwa Aisha harus menjadi contoh agar perempuan lain tidak membandel.
Hukumannya?
Telinga dan hidungnya, harus dipotong.
Eksekutornya?
Suaminya sendiri.
Di Afghanistan pula, di daerah yang dikuasai Taliban, belajar dan bekerja bisa berarti maut bagi perempuan.
Dua surat diterima oleh organisasi Human Right Watch. “Kami memperingatkan engkau untuk segera meninggalkan pekerjaanmu sebagai guru atau kami akan memotong kepala anak-anak mu dan membakar putrimu,” tulis satu surat. Satu lagi, ” Kami akan membunuhmu dengan sangat sadis, dengan cara yang belum pernah dialami perempuan manapun.”
Untuk perempuan yang bersekolah, cairan asam akan (dan sudah banyak) dilempar ke muka mereka. Gedung sekolah yang menerima perempuan, siap-siap dibakar orang tak dikenal.
Saya jadi ingat satu dosen perempuan, yang berkata semua budaya sama saja, tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Saya berpikir, kira-kira jika dia mengajar di Afghanistan, masihkah kalimat yang sama terucap?
Juga teringat sekelompok orang, yang entah bagaimana bisa, merasa Taliban adalah panutan, dan Indonesia harus berkiblat ke sana. Heran sekali, Pancasila kita diakui sebagai hasil pemikiran yang sangat jenius. Untuk apa meniru kelompok barbar yang dipenuhi kekerasan dan kebencian itu?
Teringat juga dengan Christianto Wibisono, yang suka memakai ilustrasi Kain Habel dalam tulisannya. Mentalitas Kain, yang dengki, iri hati, penuh dengan kebencian. Menghalalkan kekerasan bahkan pembunuhan.
Teknologi berkembang, katanya, tapi mentalitas ini tidak hilang. Malah makin menjadi-jadi. Kebencian itu, tidak hilang dari hati manusia.
Paul Conroy, dalam film Buried. Ditanya, jikalau dia berada di posisi penculiknya, tidakkah dia akan melakukan kekejian yang sama?
Terakhir, saya teringat juga, kalau malam sudah larut. Di luar gelap gulita. Saatnya beristirahat, merenungkan lagi sebelum tidur.
Masihkah hati saya dipenuhi kebencian?