“I wish I could have tea with them every Saturday, a friendly tea,”

Platon for Time

Membaca kisah Aung San Suu Kyi dalam majalah Time terbaru, serasa membuat waktu terhenti sejenak. Sulit untuk tidak menilai dia luar biasa. Bersama dengan Gandhi, Mandela dan Liu Xiaobo, Suu Kyi adalah orang agung. Sebelum ini banyak kisah tentang Suu Kyi telah ditulis berbagai media. Namun kali ini terasa berbeda.

Entah karena foto dirinya yang menjadi sampul majalah begitu kuat. Atau perjuangan jurnalisnya membuat tulisan yang begitu menegangkan. Mungkin juga detail kecil kehidupan di negeri Burma yang memikat. Bisa jadi kombinasi semuanya.

Suu Kyi memang luar biasa. Usianya sekarang 65 tahun, namun kecantikannya tidak pudar, mirip mendiang Benazir Bhutto. Ayahnya, Aung San, adalah Bapak Kemerdekaan Burma, semacam Soekarno.

Tahun 1947 Aung San berhasil melobi kemerdekaan Burma dari Inggris. Tahun itu juga, dia dan sejumlah menteri dibunuh oleh rival politiknya. Hari itu sampai sekarang dikenang sebagai Hari Para Martir. Tiap tahun petinggi-petinggi Burma memperingatinya dengan berdoa di Martyr’s Mausoleum di Yangon.

Platon for Time

Dari kecil Suu Kyi sudah akrab dengan penderitaan. Usianya baru 2 tahun ketika kehilangan sang ayah. Belakangan ketika suaminya yang sekarat ingin berkunjung ke Burma menemui dia, dilarang oleh diktaktor Burma.

Wikipedia menuliskan, Suu Kyi remaja melanjutkan studinya di Universitas Oxford, lalu  sempat bekerja untuk PBB.  Ia kemudian menikah dengan Michael Aris, pakar budaya Tibet. Suu Kyi kembali ke Burma tahun 1988 karena ibunya sakit,  bertepatan dengan kacaunya situasi politik di Burma. Setelah itu, Liga Nasional untuk Demokrasi atau NLD terbentuk, dengan Suu Kyi sebagai Sekjen.

Memenangi mutlak pemilu tahun 1990, yang ternyata menjadi awal perjalanan panjangnya sebagai “pesakitan” di Burma yang dikuasai oleh diktaktor Junta militer.

Sejak saat itu, sampai sekarang, kira-kira 15 dari 21 tahun masa hidupnya dihabiskan Suu Kyi sebagai tahanan rumah. Entah berapa kali masa tahanan yang awalnya hanya tiga tahun diperpanjang. Angka 21 beresonansi bagi saya, karena sama dengan umur saya, dari lahir sampai membuat tulisan ini.

Pernah pada Mei 2008, karena Badai Nargis yang dasyat itu. Atap rumahnya rusak berat dan listrik tidak berfungsi. Baru pada Agustus 2009, direncanakan untuk memperbaikinya. Dalam kurun waktu itu, Suu Kyi memakai lilin pada malam hari. Baru November tahun ini Suu Kyi dibebaskan dari tahanannya. Entah berapa banyak penghargaan yang Suu Kyi terima, di luar Nobel Perdamaian yang ia dapat tahun 1991.

Di awal, saya sandingkan Gandhi, Mandela, Suu Kyi dan Liu Xiaobo dalam satu kalimat. Mungkin saya lebih akrab dengan Liu Xiabo, karena usianya relatif lebih muda dibanding yang lain. Gandhi sudah meninggal, Mandela dan perjuangan apartheidnya relatif berbeda zaman dengan saya. Simbol “kursi kosong” Liu Xiaobo bagitu kuat. Demikian dengan pidato pembelaannya yang terkenal itu, “I Have No Enemies, and No Hatred.” Saya rasa pidato Liu-lah yang menunjukkan salah satu kesamaan antara mereka. Kenapa dunia mengagumi mereka.

“Saya berharap bisa minum teh bersama dengan mereka tiap Sabtu, secara bersahabat,” kata Suu Kyi kepada Time, ketika ditanya tentang para jenderal Junta militer. Mereka inilah yang juga melarang suaminya yang sekarat untuk berkunjung ke Burma, bertemu dengan Suu Kyi untuk terakhir kalinya. Bagaimana kalau mereka menolak minum teh bersama? tanya Time.

“Kita selalu bisa mencoba kopi,” kata Suu Kyi, sambil tersenyum.

Published by harryfebrian

a mediocre. love to read and write.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: