
Saya tidak pernah sangka, tulisan yang saya buat tanpa intensi ke arah penulisan seni, memberikan kesempatan untuk mengikuti Workshop Penulisan Seni Rupa dan Budaya Visual yang diselenggarakan oleh Ruang Rupa–yang sejujurnya tidak saya ketahui, kecuali mendengar cerita beberapa kawan.
Tema, persilangan seni dengan isu sosial, nama-nama pengajar, dan tekad untuk mengeksplorasi berbagai dunia baru, bahkan yang asing sekalipun, menjadi alasan utama saya mendaftar. Hasilnya tidak buruk, bersama 14 orang lain dari berbagai daerah, saya terpilih dari sekitar 80-an pendaftar. Ini berarti selama dua minggu (20 Juni- 1 Juli 2011), Senin sampai Jumat, mulai pukul 10 pagi sampai 4 sore, saya harus bolak-balik Cengkareng-Tebet yang berjarak lebih 20 km tepat di jam-jam padat (untuk tidak menyebutnya jam-jam neraka)
But it was worthed every second.
***
Tersasar dan terlambat di hari pertama, membuat saya sedikit canggung, namun semua berjalan cukup lancar. Pertemuan perdana ini diisi dengan perkenalan antar peserta dan para fasilitator dari Ruang Rupa. Latar belakang peserta sangat beragam.
Ada yang berasal dari Jember, Semarang, Jogja, Bandung, dan tentu saja Jakarta. Ada yang mengambil jurusan Filsafat, Seni Rupa, Sastra, Jurnalistik di berbagai kampus seperti UGM, ITB, UI, Unpad, Unpar dan sebagainya. Ini tentu memberikan atmosfer yang sangat kaya, terutama dalam sesi tanya jawab.
Secara pribadi, saya salut luar biasa kepada Mirwan Andan sebagai mentor dari Ruang Rupa (Ruru) dengan pengetahuan ensiklopediknya yang banyak memberikan masukan pada kami.
***
Selama dua minggu itu, ada beberapa sesi dan pembicara yang menarik perhatian saya secara khusus.
Aminuddin Siregar misalnya. Kurator, kritikus, dan dosen dari Fakultas Seni Rupa & Budaya dari ITB yang akrab dipanggil Bang Ucok ini melemparkan polemik soal penulisan kritik seni rupa dan budaya visual. Khususnya pengertian seni dalam era postmodern yang telah bergeser menjadi sangat membingungkan. Secara khusus Bang Ucok mengingatkan pentingnya kesadaran dari para kritikus seni tentang pergeseran paradigma modern ke postmodern ini. Itu penting untuk menjadi dasar penulisan kritik seni yang baik.
Pembahasan sejarahwan JJ Rizal dalam sesi Penulisan Seni Rupa dan Budaya Visual dengan Pendekatan Sejarah juga sangat menarik. Walaupun irisan antar seni dan sejarah ini memang perlu didiskusikan dan dikembangkan dengan lebih lanjut, pemaparan contoh kasus lukisan Penangkapan Pangeran Dipanagara karya Raden Saleh sangat menarik. Dari situ terungkap beberapa fakta unik, seperti muka Raden Saleh yang ditampilkan dua kali, ataupun proporsi wajah pihak Belanda yang “aneh,” yang konon adalah olokan halus Raden Saleh terhadap sikap Belanda yang mencerminkan Buto atau Raksasa dalam dunia wayang.
Bagi Rizal, dalam sebuah material seni rupa, katakanlah lukisan, terkandung banyak sekali cerita, yang bisa menjadi pintu masuk bagi sejarawan untuk mengeksplorasi keadaan sejarah pada saat itu dengan lebih jauh. Secara khusus, Rizal mendorong para kritikus agar tidak berkutat di tataran teknis saja, tapi menggali lebih dalam lagi tanda-tanda zaman atau zeitgeist dari karya seni tersebut.
Dan sebagai jurnalis, saya “terhibur” dengan sesi dari Qoris Tadjuddin, jurnalis Majalah Tempo yang juga Redaktur majalah gaya hidup U-Mag. Karena membicarakan masalah penulisan kritik seni di media massa umum, materi terasa lebih familiar, setelah sesi-sesi sebelumnya yang aroma seni rupa-nya begitu kuat, yang membuat saya minder luar biasa karena tidak tahu apa-apa.
Dalam sesi ini Qoris menekankan kepada para penulis, dalam hal ini diasumsikan penulis pemula atau jurnalis yang memang bukan khusus dari dunia seni, untuk tidak sok tahu dan sok nyeni dalam menulis di rubrik seni sebuah media massa umum. Berbeda dengan jurnal atau majalah khusus yang audiensnya juga sangat segmented, media massa umum ditujukan untuk pembaca yang sangat beragam, dan mungkin sekali juga awam dalam dunia seni. Karena itu tantangannya justru pada bagaimana penulis membumikan “seni” dengan segala atributnya yang seringkali sulit dimengerti khalayak umum.
Sebagai catatan, beberapa pembahasan mengenai penulisan dari sisi jurnalistik seringkali bertabrakan dengan sisi seniman, yang tercermin dari banyak sesi-sesi sebelumnya. Namun ini satu hal juga yang menarik dari workshop ini, karena para pembicara tidak diharuskan memiliki pandangan seragam. Keragaman dan perbedaan sudut pandang ini justru memperkaya wacana diskusi diantara para peserta.
***
Jumat (1/6/2011) malam, acara barbeque dan karaoke hingga larut malam menandakan workshop resmi berakhir. Semua peserta akan kembali ke komunitasnya masing-masing dengan membawa beberapa tugas terkait. Ternyata dua minggu terasa begitu cepat. Pelajaran sudah dipetik, walau sudah tentu pengetahuan masih jauh sekali dari sempurna. Namun langkah awal sudah dijalankan. Dan semoga, seperti halnya menulis, begitu langkah pertama yang begitu sulit dapat terlewati, langkah-langkah selanjutnya bisa mengalir dengan mantap.
Me, My Room, 16:48
Special Thanks to:
Bang Ade Darmawan
Mirwan Andan, Indra Ameng, dan Rendy Herdiyan dan semua pihak dari Komunitas Ruang Rupa
April, Dea, Arys, Asep, Ibnu, Laras, Natya, Ratih, Kiram, Sita, Putri, Winda, Purna, n Zikri. Salut sama kalian semua!
dan Kamu, yang menemani saya selama dua minggu ini, khususnya disunyinya malam terakhir. Terima kasih.
Widiiiih,, oke juga nih, Bro!!! Haahaha,, tapi gue penasaran tuh,, si ‘kamu’ yg disebut paling bawah siapa yak? wkwkwwk
Tulisan asyek, Har!
::)
wkwkwkw, ya gitu deh zik :p
haha, sipp! thx bro! 😀
eitss, mampir dulu ah ke blog u! 😀
sabi sabi dot com! selamat atas kesempatan yang telah anda dapatkan, selanjutnya, sesi bagi bagi ilmunya saya tunggu!
untuk kalimat terakhir, you’re most welcome! ;)) HAHAHA! gotcha!
gyahahaha, sip shir! Ah, ga sempat ngupi2 seh, klo sempat gw critain tuh hihihihi 😀
thx udah mampir shir! Sekalian ijin naro blog u di blogroll gw yah 😀