Teknologi bergerak begitu cepat hingga memaksa banyak pihak untuk berubah. Tak terkecuali jurnalis.
Rasanya, beberapa tahun yang lalu pakem kerja jurnalis tidak berbeda jauh dengan pendahulunya di awal abad 20. Selain laptop dan seperangkat alat elektroniknya, polanya masih mirip: pergi pagi, wawancara, mencatat di notes, pulang kantor lalu mengetik karena dikejar deadline.
Tapi dalam beberapa tahun belakangan, itu mulai berubah. Setidaknya untuk jurnalis online. Mencatat, merekam, memfoto, mengetik, mengirim semua lewat satu alat, smartphone. Kantor bukan lagi gedung fisik, tapi ada dalam genggaman.
Itu sedikit menyebalkan, tapi mau tidak mau harus dijalani.
Saya termasuk beruntung dibanding rekan yang lebih berumur: cukup melek teknologi walau tidak fasih-fasih amat. Jadi adaptasi lebih mudah.
Saya merekam dengan aplikasi recorder, men-transkripnya dengan keyboard qwerty mungil di layar smartphone, mencatat notes dengan evernotes, memasukkan foto, dan kalau perlu plus suara ataupun video hasil rekaman sendiri. Men-check jadwal acara di yahoo mail. Berkonsultasi dengan redaktur via whatsapp. Mencari lokasi acara dengan iGo. Sedikit menggoogling untuk melihat profil narasumber. Selesai acara, cari tempat nongkrong dengan wi-fi. Kirim berita dan selesai. Saya lupa, kapan terakhir kali muncul ke kantor.
Tentu saya masih membawa buku notes, bahkan generasi saya merasa kurang jika tidak mencatat dengan pena dan kertas. Tapi entah generasi berikut.
Sebenernya ritme ini kurang saya sukai. Ia tidak memberi banyak waktu untuk merenung dan refleksi. Konteks kadang terlupakan. Tapi apa boleh buat, hidup harus terus berjalan. Termasuk ketika saya mencoba membuat blog pertama (atau kedua?) dengan seluruhnya menggunakan smartphone. Yaitu tulisan yang sedang anda baca sekarang ini.
Rasanya, tidak buruk juga.
Jakarta, 28 Oktober 2011.
Dengan bantuan Samsung Galaxy Ace, smartphone Android pertama saya.