Saya tidak tahu betul bagaimana berbunganya perasaan Vermont Royster. Bukan, bukan karena dua hadiah Pulitzer ataupun Presidential Medal of Freedom yang ia terima. Tapi untuk sebuah editorial, yang terus dicetak di Wall Street Journal sejak 62 tahun lampau hingga hari ini, dan akan muncul kembali besok nanti, In Hoc Anno Domini, Di Tahun Tuhan Kita Ini. Padahal repetisi, adalah musuh terbesar jurnalisme. Ia suatu yang dianggap “haram.” Tulisan yang baik pasti menjauhinya. Sehingga mengulang sebuah tulisan setiap tahun mulai dari 1949 hingga 2011, adalah, dua kata sederhana: luar biasa.
In Hoc Anno Domini yang dimaksud Royster dimulai 2000 tahun lampau. Ketika satu bayi hadir dalam dunia, ditengah kesulitan yang sangat sehingga ia harus lahir di kandang binatang karena semua tempat menutup pintu. Hari itu seolah biasa saja. Satu malam sunyi seperti sebelumnya, kecuali mungkin bagi sekelompok orang bijak dan beberapa gembala, kaum kelas dua kala itu. Begitu sederhana.
Pun demikian, sejak itu, sejak Tahun Tuhan Kita Ini, hal tidak pernah menjadi sama lagi. Banyak perubahan terjadi. Teramat banyak. Mulai dari Kekaisaran Romawi yang kala itu begitu perkasa, dimana segalanya berada dalam belenggu sang kaisar. Di permukaan, ketertiban umum adalah kewajiban. Tapi bau busuk opresi tidak bisa ditutup-tutupi terlalu lama, bagi mereka yang tidak tunduk di bawah kaisar. “Apalah manusia selain pelayan kaisar?” tanya Royster. Lalu datanglah bayi ini, bagaikan cahaya menerobos saat-saat gelap itu. Dan budak-budak, warga kelas dua, pelacur, pelahap, pemungut pajak, dan mereka yang marjinal, akhirnya boleh mencerap pengharapan kembali. Cahaya itu membebaskan mereka dari kegelapan yang mengikat.
Tapi hal tidak selamanya lancar dan mulus, seperti seringkali keinginan kita. Akan datang waktunya kelak, tegas Royster, dimana kegelapan akan sekali lagi menyelimuti. Opresi hadir dimana-mana, memperbudak manusia sekali lagi. Dan bukankah sampai sekarang segalanya terlihat, sayangnya, tidak berubah sama sekali? Coba tanya sekelompok orang di Bogor yang diusir dari tempatnya dan harus beribadah di trotoar. Dan orang-orang sederhana di Korea Utara sana yang harus menangis tersedu-sedu untuk kematian kaisar kecil mereka jika tidak mau ditangkap atau mungkin dibunuh. Atau seorang dua orang di Cikeusik yang harus meregang nyawa hanya karena mereka berbeda. Bukan mereka saja, kita pun demikian. Kita tertawa tapi tidak bahagia. Kita bergerombol tapi kesepian. Kita penuh dengan harta tapi kosong. Kita mabuk tapi tetap pahit. Kita berharap tapi kecewa. “Life is real!” kata Queen. Dan sayangnya tidak berhenti disitu. “Life is a bitch,” lanjut mereka. Segalanya gelap.
Tapi jangan-jangan, semua karena kita selama ini memalingkan mata dari cahaya itu. Mungkin terlalu silau bagi kita yang terlalu lama berkubang dalam kegelapan kepicikan, keegoisan, kemunafikan, kerakusan, kejahatan, dan kesombongan. Dalam belenggu, kata bayi itu ketika dewasa, dosa. Kemudian hidup terus berjalan dan kita menghadapi tengah malam ini, menyambut sekali lagi Tahun Tuhan Kita. Kesempatan yang baik untuk merenungkan kembali waktu yang terlewat. Dan semoga, Dia sendiri memberikan kita keberanian membuka tirai kegelapan yang menyelubungi mata kita. Merobek topeng kepalsuan yang kita pakai. Merendahkan diri kita dari kesombongan. Untuk berani menatap cahaya itu. Tentu itu bukan akhir, malah sebuah permulaan. Tapi setidaknya kita mencoba, dan, bukankah semua hanya karena anugerah semata?
Semoga malam ini sekali lagi, kita melihat kemulian hanya bagi Dia di tempat yang maha tinggi. Dan bagi kita, makhluk yang fana ini, semoga damai senantiasa menyertai.
Selamat Natal!
One thought on “A Night Before Christmas”