Sekilas Roy Sembel

Dimuat di Harian Kontan, Sabtu 18 Februari 2012.

Semua bermula ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat anak-anak yang lain masih asyik bermain, Roy Sembel sudah sibuk mengurus bisnis pertamanya, peternakan ayam. “Waktu itu saya sudah memiliki dua orang pegawai,” kenangnya. Kebetulan, rumahnya dulu memiliki lahan yang cukup luas sehingga bisa dimanfaatkan untuk beternak ayam. Namun sayang, meskipun cukup berhasil, akhirnya usaha itu harus ditutup karena keberatan dari tetangga. ‘Karena mungkin bau tidak sedap dari kotoran ayam,” ujarnya tergelak. Padahal, aku Roy, masalah sanitasi sudah dipikiran, termasuk membuat lubang untuk menimbun sisa-sisa kotoran.

Di Sekolah Menengah Atas (SMA), Roy Sembel tidak berhenti. Malah, terus merambah ke bisnis baru, semacam rental taksi. “Dulu kita bisa menyewakan mobil-mobil,” kata dia. Seperti ketika mengurus peternakan ayamnya, kali ini ia banyak berkutat dengan masalah keuangan dan finansial dari usaha penyewaannya ini. Memang, menurut Roy, kecintaannya pada dunia hitung menghitunglah yang membawa ia masuk ke dunia bisnis dan investasi, bahkan hingga sekarang menjadi Direktur di Jakarta Futures Exchange (JFX) atau Bursa Berjangka Jakarta.

“Dari dulu saya senang hitung menghitung,” ujarnya. Tak heran, pendidikan yang ia tempuh pun tidak jauh-jauh dari angka. Di tahun 1982, ia memilih berkuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan major di statistik dan minor di ekonomi. Gelar insinyur pun ia sabet sebagai lulusan terbaik dengan predikat Cum Laude.

Sebagai informasi, tradisi lulus terbaik sudah dimulai sejak Roy masih dibangku Sekolah Dasar, terus hingga ia menyelesaikan pendidikan MBA dari Rotterdam School of Management, Erasmus University Rotterdam and The Wharton School, University of Pennsylvania. Sedangkan, gelar PhD nya diperoleh dari J.M Katz Graduate School of Business, University of Pittsburgh. Tahun 2005, ia melengkapinya dengan gelar tertinggi di dunia akademik, Profesor dalam bidang Financial Economics.

“Sejak di kuliah saya menjadi semakin banyak mendapat pengetahuan soal dunia keuangan,” ujar Roy. Termasuk juga soal produk-produk derivatif yang jadi salah satu perhatian utamanya sebagai Direktur JFX.

“Ketika JFX pertama kali didirikan tahun 1999, saya sudah terlibat membantu, sering memberikan pelatihan soal derivatif. Kebetulan saya juga banyak menulis dan membuat buku tentang itu,” ujar Roy ketika ditanya awal keterlibatannya dengan JFX. Setelah itu ia menjadi konsultan strategi JFX dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Hingga di tahun 2010 awal, suami Vivi Yuanita Lapian ini diundang ikut seleksi dan pada bulan Juli terpilih sebagai satu dari tiga Direktur JFX.

“Fokus pekerjaan utama masih tidak jauh dari dunia akademik. Menulis dimana-mana soal produk derivatif, membuat seminar di masyarakat dan perguruan tinggi,” ujarnya. Sedangkan secara internal, ia mengurusi masalah keuangan dan juga langkah-langkah strategis untuk JFX.

Hasilnya cukup impresif. Kurang dari 2 tahun berkantor disana, volume transaksi JFX terus meningkat. “Awalnya, untuk multilateral multilateral transaksi per bulan cuma 221 lot, sekarang data Januari lalu sudah 11.818 lot atau naik 53 kali lipat,” tukas Roy. Sementara untuk transaksi bilateral dari 2010 ke 2011 mengalami kenaikan sebesar 39%. Total, transaksi di sepanjang tahun 2011 mencapai 7.587.000 lot, naik dari tahun sebelumnya sebesar 5,4 juta lot.

Merasakan Krisis 1998

Mengenang perjalanannya di dunia bisnis dan investasi, tahun 1997-1998 menjadi momen yang mungkin tidak akan bisa dilupakan Roy Sembel. Pasalnya, setelah pulang dari luar negeri dengan gelar doktor nya, di tahun 1997 ia sempat mendirikan perusahaan investasi bersama beberapa rekan-rekan lain. “Tapi ternyata bersamaan dengan kondisi krisis yang mulai menimpa Indonesia,” ujarnya.

Tak terhindar, perusahaannya pun bisa dikatakan habis terkena hajaran krisis. “Kita dan share holder lain langsung putuskan untuk tutup saja, dan liat perkembangan yang akhirnya memang semakin parah,” kata Roy. Beruntung, mereka sigap melakukan cut loss sehingga sebagian besar modal yang ada masih bisa diselamatkan. “Waktu itu modal saya sekitar 1 miliar, karena cepat ambil keputusan, sekitar 85% masih bisa selamat,” tukasnya.

Meski begitu, pria kelahiran Jakarta, 10 Juli 1964 ini mengaku tidak kapok. “Tidak boleh itu,” ujarnya. Justru, bagi dirinya, hal ini merupakan bagian dari pembelajaran. “Bagi saya, setiap kali ada sesuatu yang tidak sesuai dengan perkiraan awal, berarti ini kesempatan untuk maju, bukan berhenti,” tambah Roy. Dari situ ia mencoba mengevaluasi mengapa masalah bisa sampai terjadi. Bisa jadi kendala ada dari sisi eksternal, atau malah memang dari diri sendiri. Atau mungkin juga, kombinasi dari keduanya. “Kedepan jadi pelajaran,” tegas Roy.

Karena kegigihannya, ia mengaku tidak jarang juga menikmati manisnya keberhasilan dalam dunia investasi. “Satu contoh, ketika di tahun 2001, ketika keadaan bursa sangat fluktuatif, saya beberapa kali mencatat untung hingga 25% dalam hitungan harian,” ujar Roy. Pernah, ada saham yang ia beli pagi, kemudian dijual pada sorenya, sudah menghasilkan keuntungan 12,5%. “Kadang-kadang saya memang trading untuk seru-seruan saja,” katanya sambil tertawa.

Ia sendiri mengaku karakternya lebih kepada investor yang berpikir jangka panjang. “Saya orangnya berpikir jauh kedepan, jadi portofolio saya pun kebanyakan untuk jangka panjang,” aku Roy. Dari semua portofolio yang ia miliki, 80% ia taruh di properti. Sedangkan porsi untuk saham dan reksa dana sekitar 12%. Sisanya lebih ke deposito dan tabungan lain.

Bagi dia, dalam berinvestasi yang terpenting adalah prinsip WISDOM yang terus ia kembangkan sekarang, termasuk dalam buku-buku yang ia tulis. “Bisa dikatakan prinsip tersebut adalah intisari pemikiran saya,” ujarnya. Prinsip WISDOM ini merupakan akronim dari Watak, Impian, Siasat, Didik, Otak/Otot, dan Meter/Monitoring.

Intinya, terang Roy, dalam berinvestasi, pertama-tama kita harus mengenali dulu kekuatan dan kelemahan, serta kondisi sekarang (watak), setelah itu baru memetakan keinginan kita di masa depan (Impian), lalu mulai mengatur cara atau siasat untuk mencapainya (Strategi). Dalam proses menyusun strategi ini, pembelajaran (Didik) menjadi syarat utama. “Misalnya ada instrumen investasi yang baru, harus kita pelajari,” ujarnya. Lalu kerja keras dan kerja cerdas (Otak/Otot), dan selalu mengukur dan mengevaluasi pencapaian kita (Meter/Monitoring). “Ingat, semua sumber daya kita terbatas, sehingga semuanya perlu dikelola secara terukur, efektif, dan efisien,” tukas Roy.


Published by harryfebrian

a mediocre. love to read and write.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: