Bagi saya cinta, seperti halnya kebenaran, adalah hal yang terlalu besar untuk kita bisa pahami seutuhnya. Dus, ia terlalu berharga untuk kita gembar-gemborkan layaknya barang bekas yang diobral ditawarkan setengah memaksa kepada semua orang, siapa saja.
Cinta bukanlah, meminjam istilah Gabriel Marciel, sebuah probleme, semacam soal-soal yang bisa dipecahkan asal bahan dan metodenya mencukupi. Soal-soal yang bisa kita jawab sampai habis dan tidak lagi tersisa pertanyaan. Cinta lebih tepat disebut mystere, sebuah rahasia yang tidak mengenal kata terakhir. Setiap jawaban yang coba membahas sampai tuntas, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Ia bagai hamparan semudera yang kita tidak tahu seberapa dalam dan luas. Kita bisa, boleh, dan harus berenang meresapinya semampu kita, tapi adalah sebuah arogansi jika merasa telah mencapai dasar dan ujungnya.
Karena itu, sejujurnya, saya selalu enggan menuliskan hal semacam demikian. Saya sadar betul, keterbatasan diri hanya akan menghasilkan sebuah karikatur yang sendirinya merendahkan kebesaran cinta itu sendiri. Tapi momentum adalah suatu dorongan yang sulit sekaligus sayang untuk dianggap sepi. Ia mendesak, memaksa diri mencari tahu dan mengumpulkan keberanian. Sebab untuk menulis, kata Andreas Harsono, butuh tahu dan berani.
Dengan tulisan ini, bukan sikap merasa telah memahami utuh yang ada, tapi sekedar keinginan berbagi dan bereksplorasi. Tidak lebih.
***
Konon, menurut seorang pengagumnya, cinta bagi Derrida adalah aporetik, ia adalah sebuah kemustahilan, tapi kita semua dipanggil untuk mengalami kemustahilan ini. Mustahil, karena cinta yang diakui oleh si pen-cinta dan yang di-cinta selalu jatuh dalam wilayah ekonomis, sebuah hubungan timbal balik yang berbicara keuntungan mutual (yang tidak terbatas masalah materi saja), sehingga tereduksi menjadi semata friendship of utility, seperti kata Aristoteles.
“Usaha mencintai sang di-cinta telah menghabiskan saya sebanyak x,” hitung sang pen-cinta. “Maka saya harus mendapatkan sejumlah y juga dari sang-dicinta.” Mungkin kira-kira seperti itu monolog “cinta” aporetik Derrida. Dengan variabel x dan y bisa diisi dengan sesuai pengalaman pribadi masing-masing, yang sekali lagi, tidak harus berupa materi.
Sedangkan bagi Sartre, cinta adalah sebuah paradoks. Ini karena cinta “berkaitan langsung dengan kebebasan orang lain” (direct connection with Other’s freedom). Si Pen-cinta membenci ide “perbudakan sang di-cinta” (enslavement of the beloved), yang seringkali dianggap sebagai tujuan dari cinta.
Ia ingin sang di-cinta mencintai ia dalam kebebasan. Tapi kebebasan itu juga yang ia takuti, karena sang di-cinta dalam kebebasannya bebas untuk melakukan apapun, yang berarti konsistensi cinta sang di-cinta tidak akan pernah bisa dijamin.
Cinta adalah paradoks.
***
Ayah dan Ibu saya, setidaknya dari segi pendidikan formal, adalah kurang lebih tipikal orang Tionghoa yang lahir tahun 60-an di Indonesia. Faktor multidimensi yang kompleks–diskriminasi, sistem nilai, keadaan ekonomi sosial, dsb–membuat mereka belum mendapat kesempatan mencecap pendidikan hingga jenjang yang tinggi.
Banyak orang Tionghoa angkatan ini, yang hanya sempat menikmati pendidikan hingga jenjang SMP atau SMA, malah tidak sedikit yang setaraf SD. (Walau saya harus jujur akui, gelar S-1 tidak membuat saya lebih pintar, apapun definisinya, dari ayah saya. Yang terjadi malah sebaliknya)
Mereka pastinya tidak pernah mendengar, apalagi mengerti istilah aporetik dan segala istilah turunannya, yang seringkali saya pakai supaya terlihat sedikit lebih pintar, padahal aslinya bodoh betul. Tapi saya begitu heran, mereka tampak saling mencintai, apapun definisinya. Bahkan penguji yang paling kejam, si Waktu itu, tampaknya sudah angkat tangan untuk menggangu cinta diantara mereka.
Dan saya percaya, banyak pasangan lainnya yang telah saling mencintai dan menikah selama puluhan tahun, bahkan sampai akhir hayat. Sayang (atau untungnya?) Derrida tidak terlahir dalam situasi mereka-mereka ini. Kalau iya, pastilah saya akan kehilangan bahan atau minimal mengganti banyak penjelasannya di paragraf-paragraf sebelum ini.
Barangkali ada benarnya perkataan Marx, seabreg pemikiran filsafat, seringkali terlalu sibuk memberikan ragam intepretasi terhadap dunia, tapi lupa bahwa penting juga untuk memberikan perubahan yang nyata di dunia. Beragam aktivitas yang berhenti pada pendefinisian cinta yang begitu rumit dan menarik, seringkali tidak membawa kepada cinta itu sendiri.
Barangkali memang benar bahwa cinta adalah paradoks, dalam pengertian lain.
Ia terlalu rumit untuk dipahami seutuhnya bahkan oleh orang terpintar sekalipun, tapi ia bisa dimengerti oleh bayi yang paling kecil sekalipun.
Ia dicari-cari orang sampai berjerih payah, karena seolah tidak ada. Tapi kenyataannya ia ada dimana-mana, terkadang ditemukan secara tidak sengaja oleh mereka yang tidak mencari.
Ia pastinya bukan sekedar objek penelitian yang bisa kita taruh di atas meja laboratorium untuk di bedah, tapi mungkin sebuah lagu yang dengannya kita menari, mengikuti irama yang akan membawa kita entah kemana.
Ia bukan sebuah hal yang bisa dihidupi bila dimainkan dengan aman, tapi mungkin sebuah keindahan yang bisa nyata, dengan segala resiko-nya. Atau istilah Jim Olthuis, beautiful risk.
Sehingga, pertanyaannya akhirnya adalah:
Beranikah mengambil resiko itu?
ahhh keren banget tulisannya…
kapan nih aku diajarin 😦
thanks hana! 😀
ayoooo, tapi kapan bisa ktemua or discuss nya hehe. situ kan orang sibuk! eh tgl 30 ini gw ke UMN, jangan sombong2 yah klo ktemu haha
Tak kasih cendol gan! 😀
makasih agan ferdi. Kapan bikin blog juga? 😀
Wah… Pengen juga sih agan Harry 😀
tapi sepertinya nga bakat melimpahkan pemikirian ke media tulisan 😦
aahh, menulis itu bukan bakaat hoho. semua bisa 😀
gw racunin terus ah u fer haha.
eh, omong2 thx yah udah mampir 😀
cihuy!
jato cintrong deh!
Ahaha. Jatuh cintrong ma tulisan gw y vin? ;p