Mengapa, mungkin kata paling sering terucap. Ketika manusia ingin terus terbang, tapi terbentur dinding tinggi, yang batasnya samar-samar di birunya langit. Dinding itu beragam wujud. Kematian, kepahitan, kekalahan, atau hal remeh macam putus cinta.
Dia yang mengerti mengapa akan tahu bagaimana, kata Nietzsche. Tapi untuk mengerti bukan perkara mudah. Ia butuh keberanian, dan seringkali, pengorbanan. Mengerti mengapa berarti bangun dari tidur nyenyak, membuka mata untuk melihat realita. Dan detik itu juga, banyak hal, tidak akan pernah menjadi sama lagi.
Keterbiasaan menjadi keterasingan.
Tapi demi menjadi manusia seutuhnya, untuk bisa melihat tanah perjanjian di balik dinding pembatas itu.
Mengerti mengapa adalah harga yang tidak bisa ditawar.
Jakarta, 7 Maret 2011
2:33