Seperti banyak hal lain, pertanyaan untuk apa bagaikan pisau bermata dua.
Ia akan jadi hal yang memberi fondasi kokoh untuk suatu perjalanan panjang, jika ditanyakan sebelum memulai. Tapi ia juga membuat gamang, ketika terlontar ditengah-tengah perjuangan, atau lebih tragisnya, di dekat titik akhir tarikan nafas.
Jawaban atas pertanyaan yang terlambat itu tidak lain, satu penyesalan. Namun seburuk apapun, dalam sebuah penyesalan, tersimpan satu harapan.
Satu janji.
Ia yang menyesal, masih bisa memutar arah dan terus berjalan. Penyesalan berarti satu kesadaran akan eksistansi yang salah kaprah. Setidak-tidaknya, ia sadar.
Lain cerita dengan realitas paling pahit. Ketika pertanyaan untuk apa hanya disambut oleh senyum sinis setengah meledek. Dan dengan kecongkakan, si Tinggi Hati menyahut pertanyaan krusial itu dengan jawaban:
untuk apa?
Jakarta, 18 April 2011
22:18