Eddy Soeparno: Bermula dari Hong Kong

(Dimuat di Harian Kontan, 31 Maret 2012)

Oleh: Harry Febrian

JAKARTA. Melihat dirinya ketika masih menjadi mahasiswa, barangkali kata investasi tidak pernah terpikir sekalipun oleh Eddy Soeparno. Layaknya kehidupan anak muda, pria yang kini menjabat sebagai Direktur Keuangan Bakrie & Brothers ini ternyata cukup boros dalam mengelola uang. Waktu itu, ayah dua anak ini sangat hobi mengutak-atik mobil, sehingga uang banyak dihabiskan untuk mempercantik tunggangannya. “Saya sangat royal, uang saku yang diberikan untuk sebulan bisa habis di minggu pertama,” tutur Eddy.

Seiring berjalannya waktu, Eddy mulai semakin dewasa dalam mengelola uang. Persentuhan pertamanya dengan dunia investasi berawal di tahun 1989, ketika ia bekerja untuk Jardine Flemming & Co Ltd di Hong Kong. “Pada saat terjun di lembaga bisnis keuangan, mau tidak mau terus terekspose dengan pasar uang, dunia saham dan sebagainya,” ujar Eddy. Disana, kesempatan untuk mendapat informasi terbilang gampang, sehingga secara otomatis ia terus mendalami pengetahuan tentang berbagai macam sektor dan produk investasi.

“Awalnya masuk reksadana, selain karena lebih aman, kebetulan tempat saya bekerja juga mengeluarkan produknya. Sebagai karyawan kami mendapat diskon, jadi dengan beli saja sudah untung,” kenang Eddy. Ia ingat modal pertamanya tidak terlalu besar, sekitar 15 ribu dollar Hong Kong atau 2000 dollar Amerika Serikat. “Rasanya bangga betul waktu itu,” ujarnya tersenyum. Masa itu, return yang didapat masih tergolong kecil, dibawah 10%. Setelah reksadana, giliran industri properti di Hong Kong yang mulai booming. Eddy pun tertarik untuk berinvestasi di sektor yang tidak terlalu likuid ini. “Di sana mulai mencicil apartemen pertama saya,” jelas alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Tidak berhenti disitu, valas pun ia jelajahi. Hanya saja, investasinya lebih bersifat jangka pendek dan ia rajin merubah posisinya setiap minggu. Disini pula, pria kelahiran Jakarta, 6 Mei 1965, ini merasakan salah satu pukulan terdalamnya di dunia investasi. “Dollar Amerika jatuh terhadap mata uang Eropa dan saya salah posisi,” ujarnya. Ia rugi hingga ratusan ribu dollar. Sekembalinya ke Jakarta, Eddy mulai mencicipi dunia pasar modal. Namun karena waktu itu pasarnya belum terlalu aktif, ia mengaku hanya menyimpan dan tidak terlalu mengandalkan apresiasi sahamnya. “Yang jelas sahamnya tidak turun dan yang bersangkutan membayar deviden,” ujarnya.

Lebih Suka Investasi Jangka Panjang

Kebiasaan Eddy untuk tidak terlalu banyak melakukan trading terus berlanjut sampai sekarang. Selain karena pengalaman rugi ketika bermain valas, ia juga tidak mempunyai waktu untuk terus menerus memperhatikan saham yang ia pegang. “Repot. Setiap hari harus tahu dan membaca apa yang terjadi. Bukan hanya terhadap perusahan itu, tapi lingkungan sekitar, kondisi makro dan sebagainya. Cukup melelahkan untuk memonitor itu semua,” tukas Eddy. Sekarang ia lebih suka memegang saham jangka panjang yang fundamentalnya kuat.

Bagi Eddy, ada sejumlah prinsip penting dalam berinvestasi. Pertama, harus tahu apa yang kita investasikan dan jangan hanya ikut-ikutan trend. Kedua, harus membuat target dan mengenal kata cukup. “Misalnya jika sudah naik 20%, saya keluar. Harus disiplin, meskipun bisa naik lagi,” ujar Eddy. Lalu, pastikan dalam portofolio ada aset yang likuditasnya tinggi, sehingga jika butuh dana darurat, dalam 24 jam sudah bisa dijadikan uang tunai. Terakhir, jangan terlalu mudah tergiur dengan tawaran yield tinggi, harus ingat resikonya juga pasti akan besar.

Kini, semakin sadar bahwa usia produktifnya sudah tidak terlalu lama lagi, pria berusia 47 tahun ini, semakin mengurangi portofolionya yang bersifat agresif. “Ketika masih 30 tahun, jika agresif lalu kurang beruntung hingga dana hilang, saya masih punya waktu untuk mengejar lagi. Tapi sekarang waktu relatif terbatas sehingga investasi saya lebih ke yang sifatnya memproteksi, untung sedikit tidak apa-apa,” tukas Eddy. Sekarang ini ia lebih banyak menyebar portofolio investasinya secara merata di deposito, properti atau tanah, saham-saham bluechips, serta obligasi dari pemerintah ataupun perusahaan seperti PLN. Selain itu Eddy selalu menyisihkan 10% dananya dalam bentuk tunai.

“Dulu nyali ada, namun jujur sekarang saya tidak punya keberanian seperti itu lagi. Apalagi kalau tidak untung, sedikit-sedikit istri melotot,” ujarnya tergelak.

Published by harryfebrian

a mediocre. love to read and write.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: