
Perasaan cinta kepada sophia, bijaksana itu, jelas terpancar dari Yadi S. Lima selama 3 jam kelas pertama progsif Pengantar Filsafat STRIJ. Bahasa tubuh, intonasi, mimik, maupun gerak tubuh, menyalurkan perasaan itu dengan jelas. Ia mengajarkan filsafat yang biasa tegang dan kaku, menjadi riang dan mengalir bagai seorang anak sedang menceritakan tentang kado ulang tahun yang baru diterimanya. Dan itu dilakukan tanpa mengurangi sedikitpun bobot dan kedalaman yang menjadi ciri filsafat.
Pengajaran, atau tepatnya diskusi pengantar itu, hemat saya, mulai berhasil menularkan cinta bijaksana itu pada peserta. Ia menjelma menjadi percikan. Bunga api yang kecil dan singkat umurnya, tapi berhasil menyalakan sumbu-sumbu kuriositas di hati orang-orang. Termasuk saya.
***
Syahdan, NATO yang aslinya adalah singkatan dari pakta pertahanan Atlantik Utara, diplesetkan menjadi no action talk only. Hanya bicara, tapi tidak bertindak apa-apa. Mungkin ini awalnya dimaksudkan untuk menyindir orang-orang pembual. Terlepas dari semua itu, kalimat ini mengasumsikan berkata-kata dan tindakan adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Tetapi bukankah berkata-kata juga adalah suatu jenis tindakan? Yang terkadang, dampaknya lebih besar dari, katakanlah, bertindak dengan tangan misalnya.
Diberi contoh pembantaian terbesar abad-20 oleh Mao dan Stalin, dan bolehlah ditambahkan Hitler (atau Soeharto?). Tidak banyak, atau mungkin tidak ada yang dibunuh oleh tangan parah diktator ini, tapi oleh kata-kata dari mulut mereka?
Puluhan juta.
Kata-kata, baik secara tulisan maupun lisan, punya dampak yang besar, entah itu positif atau negatif. Tentu disini perlu dibedakan antara kata-kata dengan ocehan. Yang pertama tercetus oleh pemikiran dibelakangnya, sedang yang kedua, tidak jelas.
“Tentara memiliki senjata, lalu mengapa mereka harus takut kepada kami?” tanya Goenawan Mohamad suatu ketika setelah pembredelan majalah Tempo tahun 1994. Jawabannya, kemungkinan besar, karena Orde Baru yang perkasa itu sekalipun, takut kepada pengaruh kata-kata yang dituangkan dalam tulisan di artikel-artikel majalah Tempo.
Secara lebih negatif, kita bisa melihat Gossip. Film yang berkisah tentang sekelompok anak yang mengambil kelas Komunikasi dan memilih gosip sebagai tugas akhir. Mereka melempar suatu rumor tentang seorang teman, dan ingin melacak bagaimana hasilnya. “Itu hanya kata-kata, bisa seburuk apa sih?” kata seorang dari mereka.
Rupa-rupanya, ia berubah menjadi satu kekacauan luar biasa yang tidak terkendali. Rumor itu berkembang, dengan segala bunga-bunganya ketika beralih dari satu mulut ke mulut lain. Belakangan, bahkan nyawa-pun jadi bayarannya. Dengan kenyataan yang sangat twisting di bagian endingnya.
Kata-kata itu bersifat irreversible, sekali terucap atau tertulis, ia tidak bisa ditarik kembali. Kita bisa menghapus atau meralatnya, tapi dampak sudah terjadi. Ia bisa bagaikan paku yang tertancap, lalu meninggalkan bekas luka. Sakitnya mungkin hilang, tapi tidak bekasnya. Secara natural, bekas itu akan ada selama-lamanya, menjadi penanda bahwa kerusakan sudah pernah terjadi. Atau ia bisa bagaikan seteguk air di padang gurun, akan menguap setelah beberapa saat, tapi memberikan tenaga untuk berjalan 1 langkah lagi, dan lagi.
Bagaikan sebuah paku atau seteguk air?
Pilihannya ada di tangan (mulut) kita.