Apalah arti sebuah tanggal? Mungkin sebagian berkata, menyitir kata-kata Shakespeare dari naskah masyur Romeo dan Juliet itu, what’s in a name?
Tapi rangkaian angka itu memang berbeda dari sebuah bunga mawar yang “tetap harum betapapun kita mengganti namanya.” Karena tanggal adalah penanda sesuatu yang lebih besar, yang tidak pernah sama untuk kali keduanya: Waktu.
Dan Waktu, bersama dengan ruang, menjadi wadah bagi segala sesuatu untuk ada. Yang sudah lewat, masa lalu. Yang tengah terjadi, masa kini. Yang akan datang, masa depan. Di dalam toples ruang dan waktu ini tersimpan berbagai permen segala rasa. Yang manis, yang lucu, yang masam, dan tentu, yang pahit, yang ingin dilupakan.
Waktu sekaligus sebuah misteri. Ia antara ada dan tiada. Ia, pada dirinya sendiri, tidak pernah bisa kita cium, lihat, ataupun sentuh. Tetapi, entah bagaimana, kita tahu Ia “ada.” Bahkan, berlari-lari di antara kita. Mungkin karena tidak ingin kalah dengan misteri, dengan ketidakpastian, maka kita menciptakan tanggal. Untuk membekukan waktu, memberinya wujud, yang bisa kita inderai dan kita permainkan dengan rasio.
Itu, sekali lagi barangkali, memberikan kita rasa percaya diri terhadap Waktu, yang kita tahu akan menelan kita pada saatNya sendiri.
Konon, pada mulanya, tanggal memang berhubungan dengan hidup dan mati. Waktu yang kala itu belum berwujud, jadi penentu bagi keberlangsungan orang Mesir Kuno. Banjir tahunan di Sungai Nil jadi ancaman untuk agrikultur, yang berarti makan atau mati bagi mereka. Awalnya dari pergerakan bintang Sirius sebagai penanda datangnya banjir, orang Mesir Kuno akhirnya membakukan “jam” pada abad 1300 Sebelum Masehi. Sepuluh jam untuk hari terang dari matahari terbit hingga terbenam, dua jam untuk senja, dan 12 jam untuk malam. Tapi kita tidak pernah puas. Dan orang Babilonia, pada rentang 300-100 Sebelum Masehi terus menguraikan Waktu. Menjadi menit, lalu detik.
Waktu pun tidak terlepas dari unsur religius. Tanggal yang umum dipakai, Masehi, membagi waktu menjadi dua era. Sebelum dan sesudah Masehi. Bahasa aslinya jauh lebih religius. BC dari Before Christ, dan AD yang adalah Anno Domini, the Year of our Lord. “Tidak,” kata mereka yang tak ingin terdengar religius. Maka digunakan istilah yang lebih netral, Before Common Era atau BCE dan Common Era alias CE. Tapi pada akhirnya, bukankah ketidakreligiusan hanyalah menjadi hal religius dengan jenis yang berbeda. Lebih baik, kata Alain de Botton, daripada mengolok-olok hal religius, mengapa tidak mencuri saja dari ke-religius-an ini. Karena toh, ada ide-ide yang baik yang bisa membantu kita dalam hidup.
Wadah, misteri, hidup mati, ke-religius-an; bahkan hal-hal besar ini masih sebatas lapisan luar dari Waktu, dari tanggal. Mungkin, Ia menyisakan lapisan-lapisan berbeda, untuk yang lain. Yang kecil dan yang sepele.
Peringatan dua bulan berada di Taiwan, misalnya.
Taipei, Satu malam di penghujung Musim Gugur 2012.