24

a glimpse.
a glimpse.

Banyak hal berubah sejak saya terakhir kali saya menuliskan soal hari jadi. Waktu itu 22, sekarang 24. Klise betul, tapi benar: waktu berjalan–bukan, berlari– teramat buru-buru, saya tak sadar kalau dua tahun lewat begitu cepat. Mungkin ini aneh, tapi perubahan kadang memang membuat beda, sekaligus dengan nuansa sama.

Dua tahun lalu saya harusnya sedang sibuk soal magang dan skripsi akhir. Sekarang saya masih sibuk hal sama, tuntutan paper dan ujian. Hanya beda strata saja. Dulu sarjana, kali ini master. Berat betul nama gelar ini, pikir saya. Juga lain tempat, kala itu Serpong yang gersang, ini kali gunung Yang Ming yang dingin. Saya senang soal strata ini, Ia sama sekali gratis, malah saya dibayar. Beda dengan dulu yang hanya separuh tidak bayar dan tetap keluar uang. Tapi saya tahu betul, ini situasi boleh digambarkan pakai dua kata, meminjam seorang kawan: jauh, masih.

Omong-omong, tulisan ini juga masih sama-sama diketik, hanya dengan komputer jinjing berbeda. Yang dulu sudah pensiun setelah menemani barangkali lima tahun. Masih lagi, pikiran ini sama-sama dituliskan, hanya beda lokasi saja. Saat itu dalam kamar nyaman Cengkareng, saat ini di pinggiran sungai Singapore yang berangin. Tapi yang ini betul-betul tidak berubah: menulis di tengah malam yang sunyi, setidaknya bagi saya.

Tanpa mencontek dan tanpa koneksi internet pula, saya berusaha ingat-ingat apa isi tulisan dua tahun lalu. Apa yang sama, apa yang beda. Saya yakin betul dengan ingatan saya, hal-hal terpenting hidup saya yang saya tulis waktu itu: keluarga, teman, guru, dan, Yang Maha. Hal-hal ini masih sama, namun juga tetap, berbeda. Saya sebutkan dua saja.

Keluarga saya misalnya, sekarang selain tambah satu kakak ipar dan keponakan yang menggemaskan, akan bertambah juga, saya harap tanpa ada masalah, dua calon bayi lucu. Ramai betul pasti nantinya. Tapi satu yang tetap, dan saya harap tak pernah berubah sampai tulisan hari jadi saya yang ke 75 dan seterusnya: saya sayang sekali dengan keluarga ini. Titik.

Kawan-kawan juga terus bertambah. Saya kadang tidak enak juga, merasa belum bisa menjadi teman yang baik, tapi saya terus mendapat kawan-kawan yang luar biasa. Walau kadang sebagai manusia ada juga yang saya sebal, tapi itu tidak serius-serius amat. Yang mencolok, saya tak pernah berhenti kagum, bagaimana saya bisa belajar dari mereka. Teman itu barangkali memang seperti kata Plato…ah sudahlah, tak perlu kutip-kutip untuk yang ini, toh tak bikin saya tambah keliatan cerdas.

Saya suka perbedaan, perjumpaan dengan yang lain. Persentuhan dengan liyan, betul betul memperkaya perspektif. Saya jadi lebih paham betapa sempitnya kita bisa jadi, kalau cuma hidup di menara gading yang itu-itu saja. Menakutkan. Saya pikir, disitu taliban-taliban bermula. Ketidakinginan menerima kenyataan perbedaan. Tak mau mengakui yang lain, tapi mau memaksakan semua jadi sama. Biasa paling mudah pakai nama Allah. Memang paling mudah itu, ibarat pakai surat ijin bebas melakukan apa saja. Ngeri betul. Ah sudahlah, paling-paling dituduh cari aman, kompromi bla bla. Hyiii, ya sudah, kenapa jadi ngelantur kesini. Bisa diomeli murid-murid jurnalistik saya dulu: menulis kok tidak fokus.

Omong-omong lagi, saya suka daerah ini. Saya akan sering-sering mampir kesini kalau ada rejeki bertandang ke negeri singa lagi. Beruntung saya bisa senang dengan cara murah meriah: belin minum lalu duduk-duduk menikmati angin malam, sekedar bercakap-cakap dan tentu, menulis. Lain kali kalau dollar singapura lebih banyak, saya akan menulis sambil duduk di kafe dermaga yang jual anggur perancis. Tadi saya lewat, tapi harganya alamak! Belum sesuai kantung mahasiswa. Kalau ada kekasih, saya pasti ajak kesini juga. Asal ya itu tadi, tak bosan sekedar duduk-duduk cakap cakap menikmati angin, atau terkadang tak saya acuhkan sebentar karena ide menulis tiba-tiba datang. Tak perlulah menyeberang, saya tak suka lama-lama tempat ramai dan bising. Tapi supaya romantis, saya akan bacakan sajak, dari Shakespeare barangkali.

Saya senang saya masih sempat menuliskan ini. Dengan ini, ide, pikiran, dan perasaan saja akan terus ada. Asal tidak ada kiamat digital, saya rasa tulisan ini akan jadi buah pekerjaan yang abadi, seperti kata Pram. Pastinya tidak abadi seperti karya-karya dirinya, saya sudah senang kalau ini tinggal dalam hati orang-orang yang saya sayangi. Ini berhubungan juga dengan keinginan ulang tahun kali ini. Saya bukan takut nanti ditanya Yang Kuasa kenapa tidak seperti Musa atau Daud. Saya takut jika ditanya kenapa saya tidak menjadi saya. Ini aslinya dari perkataan seorang teolog, Miroslav Volf, yang mengajar di Yale. Saya tentu ingin bisa sehebat Pram, tapi saya tidak ingin jadi Pram. Saya ingin menjadi saya seperti Yang Maha inginkan.

Karena itu saya longgarkan satu prinsip menulis yang saya coba disiplinkan: tulis ulang dan ulang tulis, kalau tidak salah bahasa kerennya write and rewrite. Saya biarkan saja apa adanya tulisan ini dengan kesalahan-kesalahannya. Anggap saja ini satu wujud kejujuran. Toh ini hanya sebuah sekedar tulisan iseng-iseng. Kalau tulis serius, saya janji akan hati-hati sesuai dengan prinsip jurnalistik, karena saya tak ingin sesatkan pembaca.

Hari jadi 24. Terima kasih untuk kalian semua. Dan dua hal kecil yang bikin saya tersenyum: dua bapak imigrasi di Taiwan dan Singapura yang mukanya cemberut selalu sesuai aturan imigrasi, tapi tersenyum mengucapkan selamat ulang tahun.

Terima kasih 🙂

Clarke Quay, 23 Januari, 2013

Published by harryfebrian

a mediocre. love to read and write.

One thought on “24

  1. Pingback: 25 | the Shelter

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: