Di situ, di kereta terakhir antara Xindan-Damsui, ada beragam kisah yang sudah setengah berjalan.
Ia tidak semeriah kereta ekonomi Jakarta-Depok tentu, yang entah bagaimana bisa menyimpan miniatur kehidupan dalam gerbong sempit tak berpintu. Tak ada bocah bertelanjang kaki, yang mengais-ngais sisa sampah sambil menadah tangan. Atau para pemusik bergaya orkestra yang tertawa riang menggesek biola kusam meski edaran kantung kresek hanya menghasilkan angin lalu.
Yang ada: sepasang berciuman seolah esok tiada lagi. Dua pirang berpakaian ala harajuku yang bercakap Jawa. Seorang tertidur pulas di pojokan.
Barangkali itu sebuah pengingat, bahwa narasi memang bukan monopoli yang mulia. Walau jika beruntung, terselip kisah menghangatkan hati dari teks di telepon genggam. Namun seringkali di pinggiran itu, dalam bentuk coretan remeh, ada cerita yang sedang dirajut di tengah sepi. Tak jadi soal jika sepi, di kereta terakhir Xindan-Damsui, adalah sebuah kelebat. Ada keramaian di pusat kota yang tak sabar melanjutkan kisah setengah jalan itu.
Begitupun disini, ada kisah yang harus dilanjutkan. Walau di luar hujan masih menyisakan rintik dan angin masih senang bertiup dingin, tapi entah kenapa, langkah terasa lebih ringan.
Sungguh entah kenapa.
Keluar dari kereta terakhir antara Xindan-Damsui, Ia terasa lebih ringan.