25

Entah mengapa, agaknya akan selalu ada yang istimewa dengan 25 sehingga kadang Ia diasosiasikan dengan kualitas perak, si logam mulia itu, seperti di ulang tahun perkawinan. Dalam panjang nafas seorang, Ia boleh disebut telah hidup “seperempat abad” lamanya.

Padahal mulanya 25, seperti juga 24 sebelum atau 26 sesudahnya, sekedar angka biasa yang bahkan baru ditemukan oleh bangsa India tahun 500 Masehi. Namun ketika bergandeng dengan usia, 25 tidak mampir sebagai angka belaka, tapi juga makna—sebuah maksud atau pengertian yang diberikan— macam “perak” dan “seperempat abad” tadi.

Ia bisa membanggakan, jadi tanda sebuah kematangan, syukur jika kedewasaan. Tapi kadang tentu menakutkan. Banyak yang bilang, seiring waktu, kita makin jarang melihat usia dengan simbol matematika “tambah,” ketimbang dengan “kurang.” Semakin tua, kita lebih sering menghitung waktu yang tersisa, daripada momen yang sudah dilewati sejak permulaan. Jika tahun ini, angka harapan hidup di Indonesia ialah 72 tahun, mencapai 25 berarti hidup hanya tinggal kurang dari dua pertiga. Menginjak 25, dengan kata lain, ialah menjadi tua.

Dan siapa yang tak takut menjadi tua?

Satu waktu Seneca, ketika Ia tak bisa lagi menyangkali telah menjadi tua, sadar akan kebiasaan barunya: memikirkan hidupnya dengan penuh penyesalan dan keputusasaan—akan hilangnya peluang, masa muda, ataupun harapan. Tentang makin dekatnya kematian.

Tetapi Ia lantas ingat, kematian bukan beban si tua saja, tapi juga yang muda. Setiap hari ketika kita bangun, tulis Seneca, ialah sebuah hadiah yang baru lagi, sebuah Kebergantungan murni, dan harus diterima dengan sukacita yang sama seperti hari pertama kita.

Hari ini giliran saya.

Seperti banyak orang lainnya, saya dipaksa menyambut usia 25 itu. Ternyata saya semakin tua. Waktu merenungkan ini, saya ikut penuh khawatir dan cemas, akan sisa waktu di depan. Takut akan ketidakpastian. Sebuah pemikiran, tampaknya memang seringkali lebih mudah dimengerti ketimbang dihidupi. Tapi tak mengapa. Itu jadi pengingat yang manis kalau saya hanyalah yang biasa. Yang profan.

Lagipula saya tak bisa menyangkal. Hari menjadi 25 adalah sebuah pemberian, yang tak ada alasan cukup bagi saya—juga semua yang telah melewati—untuk menerimanya. Saya ingat betul, beberapa hari setelah 2014 dimulai, saya dapat kabar seorang kenalan telah meninggal. Seorang muda yang punya segalanya, yang seolah masih akan hidup seribu tahun lagi lamanya. Saya juga sedih sekali mendengar kabar calon bayi seorang saudara yang divonis punya jantung bermasalah, sehingga dokter menyarankan untuk aborsi. Bahkan sebelum mendapat hari ulang tahunnya, Ia telah divonis untuk pergi.

“Apa seh hidup ini?” kata seorang tua suatu ketika.

“Entahlah,” pikir saya dalam hati berhari-hari. Tak berani menjawab, apalagi dengan sekedar jargon atau kalimat-kalimat hafalan. Barangkali memang itu bukan sebuah pertanyaan untuk dijawab. Entah.

Karena itu saya hanya bisa berterima kasih. Untuk banyak sekali pemberian yang tak pernah saya rasa layak dapatkan: orang-orang terkasih, keluarga ataupun teman; untuk setiap kesempatan dan pelajaran; untuk setiap susah dan senang; untuk setiap kegagalan dan kekalahan; keberhasilan dan kesuksesan; untuk harapan dan kekecewaan. Untuk usia 25. Untuk semuanya.

Nampaknya, meski khawatir, saya pilih menyambut 25.

Merayakan pemberian ini.

Cibubur, 23 Januari 2014 

Published by harryfebrian

a mediocre. love to read and write.

6 thoughts on “25

  1. Happy Birthday, Harry! Happy silver year, kita semua bakal dirgahayu perak tahun ini hahahaha! You’re on of the firsts. :cheers: Happy growing =D

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: