Beitou Library and Everything in Between

3

Sebagai penikmat buku, saya agak kesal juga terlambat tahu soal perpustakaan publik di Beitou. Apalagi sudah pernah menyinggung soal daerah ini. Maka waktu dini hari tahu satu dari 25 perpustakaan publik tercantik dunia versi situs Flavorwire ini cuma berbeda tujuh halte MRT dan 25 menit waktu perjalanan dari asrama saya, esoknya saya putuskan berkunjung.

Nama resminya cukup panjang, Taipei Public Library Beitou Branch. Ini satu cabang dari jaringan perpustakaan publik yang dikelola pemerintah daerah Taipei. Total ada 56 perpustakaan dan ruang baca publik tersebar di seantero distrik-distrik Taipei, mulai dari Wenshan di paling selatan, sampai Beitou di ujung utara.

Keistimewaan bangunan yang dibuka tahun 2006 ini sudah dimulai dari lokasinya. Ia berada di tengah taman kota seluas enam hektar. Waktu saya datang, ada beberapa anak muda berlatih flute dan orkestra kecil. Ada juga gerombolan orang tua bersantai main catur di bawah pendopo. Tamannya sendiri menurut saya tidak terlalu spesial, hanya cukup hijau dan nyaman saja. Kalau jalan ke barat lebih jauh, tidak sampai satu kilometer, bisa menemukan lembah geotermal Beitou yang cukup terkenal. Sepanjang jalan kesitu, ada trek menyusuri sungai (river trail) dan beberapa titik pemandian air panas. Bisa juga sekedar menaruh kaki di air sungai yang hangat.

Dari luar, Beitou Library dipenuhi aksen kayu kecoklatan. Kesan pertama untuk menunjukkan “ramahnya” bangunan tiga lantai ini terhadap lingkungan. Klaim perancangnya, penggunaan kayu ini jauh lebih hemat energi dibanding beton, setidaknya dari proses pembuatan yang tidak habiskan banyak energi. Karena penebangan pepohonan hutan Taiwan telah dilarang, maka bahan bakunya di ambil dari Amerika Utara. Untuk melindungi dari iklim lembab dan serangga, dipakai minyak kayu (wood oils) ketimbang bahan kimia sebagai pelapis.

Atap perpustakaan ini dibuat melandai untuk menampung air hujan, yang nantinya disimpan untuk air bilasan toilet dan menyiram tanaman. Sebagian areal atap dipasang sel surya yang bisa menghasilkan listrik hingga 16 kilowatt. Sebagian lagi dilapisi tanah setebal 20 cm,  membuat bangunan lebih hangat ketika musim dingin karena mencegah panas keluar, sebaliknya ketika musim panas, jadi pelindung dari panas matahari.

“Ini adalah usaha untuk membangun perpustakaan yang bisa bernafas,” kata Kuo Ying-chao, si perancang.

Untuk itu, Beitou Library mendapat sejumlah penghargaan antara lain: Taiwan Architecture Award, Excellence Award for Green Building serta Taipei City Urban Landscape Award. Ia juga bangunan pertama di Taiwan yang dapat rating tertinggi diamond dalam sistem sertifikasi EEWH (Ecology, Energy saving, Waste reduction and Health) untuk projek kontruksi berkelanjutan (sustainable construction projects).

Ketika lanjut masuk kedalam, material kayu masih mendominasi. Terutama di lantai dua dan tiga, sedang lantai pertama masih ada aksen dinding warna putih.  Penerangan dibantu oleh jendela-jendela besar yang mengelilingi bangunan plus bonus pemandangan pepohonan yang rindang. Lampu-lampu kuning temaram menambah hangat suasana. Lemari-lemari buku dibuat rendah dengan ukuran hanya 110 cm sementara langit-langit cukup tinggi, memperkuat kesan ruang yang lega dan terbuka.

Di sisi kanan bangunan, tangga naik dibuat terbuka dengan dinding keramik gelap daur ulang yang bahannya diambil dari Yingge.  Daerah ini  tersohor produksi keramiknya. Di lantai dua dan tiga, ada balkon sepanjang sisi depan gedung yang dijadikan tempat membaca luar ruangan (outdoor).

Total, koleksi buku perpustakaan ini sekitar 63 ribu, kebanyakan soal ekologi. Waktu saya datang, ada satu orang Barat dan kekasih Taiwan yang masing-masing sedang baca majalah di balkon luar. Satu Time, satu tak terlihat jelas. Sesekali mereka memandang ke langit bebas. Di dalam, di bagian koran, kebanyakan orang-orang tua. Di lantai pertama, banyak anak-anak dan orangtua, karena bagian ini banyak cerita anak-anak. Di tangga bawah yang cukup nyaman dan dilapisi karpet empuk, beberapa pasangan anak muda pacaran sambil sesekali melihat buku. Hari itu pengunjung cukup ramai. Tidak heran, karena tiap tahunnya Beitou Library dikunjungi sekitar 60 ribu pengunjung.  Tidak buruk untuk ukuran perpustakaan publik.

Namun komposisinya membuat saya teringat tulisan di The Atlantic soal membaca di Taiwan. Judulnya provokatif, Why Doesn’t Anyone in Taiwan Read Anymore. Intinya soal penurunan tingkat baca di Taiwan. Laporan Menteri Kebudayaan Taiwan menunjukkan, rata-rata orang Taiwan hanya membaca dua buku dalam setahun. Untuk menaruh dalam konteks, tetangga Taiwan, Tiongkok, penduduknya membaca rata-rata 4,3 buku per tahun. Jepang dan Korea Selatan masing-masing 8,4 dan 10,8 buku per tahun. Saya tak tahu dengan Indonesia.

Dalam artikel, penulis juga mencatat pengamatannya sebagai kritik terhadap perpustakaan: yang ramai belum tentu jadi tanda positif. Deskripsinya persis apa yang saya lihat hari itu: orang-orang tua di bagian koran, pojok-pojok untuk pacaran anak muda. Anak sekolah yang datang untuk membuat tugas. Buku dan lemarinya, kata penulis, hanya jadi latar belakang yang cantik bagi mereka ini. Barangkali betul juga.

Satu kritikan lagi datang dari seorang teman sekampus. Seorang Polandia, dan pembaca buku kaliber. Kurang lebih begini: ada yang salah ketika perpustakaan dinilai dari keindahan bangunan ketimbang isi dan kualitas buku yang ada. Ini perspektif penting yang menurut saya layak direnungkan. Apakah saya datang sekedar untuk foto-foto dan mengagumi bangunannya?

Tapi perspektif lain, saya pikir, tidak salah juga perpustakaan jadi sesuatu yang cantik dan dinikmati lebih dari sekedar isi bukunya. Apalagi perpustakaan publik seharusnya tidak jadi monopoli para intelektual saja. Ia harus jadi ruang publik, dimana kaya miskin pandai bodoh punya kesempatan sama: menikmati buku dan segala sesuatu diantaranya. Entah itu karya Tolstoy atau Walt Disney. Entah itu sekedar membalik majalah fashion atau berkerut membaca Time. Entah sebagai kamuflase pacaran atau sebagai referensi tesis.

Tak ada yang salah juga jika mengkategorikan kecantikan sebuah perpustakaan, lalu mengukurnya berdasarkan variabel itu. Tapi jika karena kecantikannya, lantai dikategorikan sebagai perpustakan bermutu, tentu ada yang salah. Flavorwire sekedar mengkategorikan perpustakaan berdasarkan kecantikannya, dan Beitou Library terpilih memang karena dan hanya karena kecantikannya. Barangkali kalau kategorinya adalah mutu, nama lain akan muncul.

Dan akhirnya, bukankah perpustakaan, seperti kata pepatah, adalah tempat untuk merawat jiwa?

Jika iya, saya ingin juga jiwa saya dirawat di tempat yang cantik dan indah.

Published by harryfebrian

a mediocre. love to read and write.

4 thoughts on “Beitou Library and Everything in Between

Leave a comment