
Syahdan, menulis pernah menjadi urusan berbahaya di Indonesia. Berani menulis, apalagi yang menyinggung pihak berkuasa, bisa nyawa taruhannya! Saya tak tau betul, mungkin juga Widji Thukul sendiri, kalau aktivitas dan kemarahannya yang dituangkan dalam sajak-sajak tertulis, akan buat ia diculik dan hilang. Sampai hari ini.
Pram, yang konon delapan kali dicalonkan untuk nobel sastra dan mungkin satu-satunya penulis Indonesia yang karyanya diterjemahkan sekurang-kurangnya ke 42 bahasa, sudah biasa keluar masuk penjara karena tulisannya itu. Ia menjadi budek dihajar serdadu. Tapi saya duga, itu tidak merubah perasaanya seperti ketika pertama kali tulisan dia dimuat majalah. “Dunia di tangan ini,” kata Pram sambil kepalkan tangan. “Itu kekuatan. Dan menyenangkan. Menulis itu menyenangkan.”
Saya tak tau juga kenapa seorang Tan Malaka repot-repot menulis selama delapan bulan ketika berada di persembunyiannya. Sekedar mengisi waktu luang? Atau mungkin karena ia tahu betul menulis itu penting adanya. Maka jadilah sebuah buku yang sering dianggap magnum opus-nya, Madilog. Ditulis di tempat persembunyiannya di dekat Cililitan.
Pernah, berarti sekarang seharusnya sudah tidak. Tapi 66 tahun kita merdeka, menulis, bahkan sekedar mengeluhkan sesuatu di surat elektronik, bisa membawa kita ke pengadilan. Tengok Prita, yang kembali terancam urusan penjara karena kasasi Jaksa dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Aneh betul negeri ini.
Silih Berganti, Menulis Tetap
Tak ada habisnya jika kita bicarakan orang-orang yang harus membayar harga karena tulisannya. Tapi anehnya, kita terus menulis, tidak pernah berhenti sampai sekarang. Medium boleh mati dan berganti, tapi esensinya tetap tidak berubah, menulis. Surat di gantikan email. Buku diari digantikan blog. Suratkabar mungkin digantikan situs online. Tapi semua masih sama, menulis.
Alasannya mungkin beragam. Sekedar narsissisme belaka, mungkin berkeluh kesah, atau untuk kepuasan. Macam-macam. Mungkin karena hidup kita sendiri adalah sebuah narasi yang tertuliskan dalam ruang dan waktu.
Yang pasti, tidak pernah ada kesempatan menulis sebebas hari ini. Di Indonesia, menulis adalah sebuah kemewahan sejak ribuan tahun sebelum masehi sampai mungkin awal abad 20. Baru belakangan ini saja menulis adalah makanan sehari-hari orang biasa. Dulu ia hanya dikuasai oleh orang kelas atas, bangsawan atau intelektual. Sopir truk merasa perlu memberikan sedikit sentuhan tulisan di kaca-kaca ataupun bagian belakang truknya. Demikian supir angkot dan kawan-kawannya.
Dengan berharap bahwa kasus Prita adalah sebuah anomali, kita bisa berkata sekarang ini setiap orang bebas untuk menulis. Menulis bukan hal yang harus lagi dibayar dengan nyawa. Kita merdeka untuk menulis. Dan seperti kemerdekaan negeri perlu diisi dengan hal yang membangun, demikian kemerdekaan menulis, saya usul, kita isi dengan tulisan yang konstruktif.
Bagi yang belum memulai, tak usah takut ketinggalan, menulis bisa dilakukan dari sekarang, dengan berbagai perspektif, dan tentang apapun. Dan siapa tahu ketika ketika mulai mencoba, kita bisa sama-sama mengamini perkataan Pram, bahwa menulis itu menyenangkan.
Selamat menulis dalam kemerdekaan!